TEARS
Oleh: Faizah Angela
Saat
ini matanya tertutup rapat dan enggan untuk membukanya. Dia buta akan kehidupanya
sendiri, dan tak tahu bahkan tidak mau tahu apa arti kehidupan dalam dirinya.
Dia menganggap bahwa di hidup sendiri, hanya hidup dengan alam dan menghindar
dari sosialisasi manusia. Keseharianya kerap berjalan sendiri dan apa adanya,
tak ada yang istimewa ataupun sebaliknya. Kehidupanya sedikit natural dan
condong keabstrakan. Dia menganggap bahwa hidupnya adalah sebuah mimpi dan dia
akan bisa terbangun kapan saja. Tapi ternyata tidak, dan saat ini dia juga
merasakan hal itu. Terkadang matanya terbuka ketika dia bercinta dan menyatu
dengan alam. Matanya terpejam ketika dia masuk dalam kehidupanya dan
bersosialisasi. Tapi ada keanehan yang terjadi dalam hidupnya. Dia memejamkan
mata ketika dia bercinta dengan alam.
***
Dia segera memasang earphone ketika berdiri di depan pintu rumah,
memutar MP3 dengan volume yang sedikit keras lalu melangkahkan kakinya dengan
pelan dan masuk ke dalam rumah. Dengan tenangnya dia berjalan dengan acuh tak
acuh ketika melewati dapur yang sudah di penuhi serpihan-serpihan kaca di
lantainya, matanya hanya melirik sejenak dan terus melangkah menuju kamar.
Tubuhnya
terbaring lemas di atas tempat tidur, dia mencoba memejamkan kedua matanya tapi
tak pernah bisa. Malam ini dia tak mau memikirkan apapun, dia juga tak ingin mengingat
kembali kejadian barusan tadi ketika dia melewati dapur yang menjadi lautan
serpihan kaca. Dia tak ingin mendengar dua suara yang selalu bersilat lidah dan
tak pernah ada hentinya setiap hari, juga nyanyian galak yang keluar dari suara
perempuan yang di tumpahkan kepadanya karena emosi pertengkaran tersebut. Tiba
– tiba air matanya berjatuhan ketika dia mengejapkan kedua matanya sejenak.
***
Dia duduk di tepian pantai dan membiarkan ombak-ombak kecil yang
menepi menyentuh lembut jari-jari kakinya. Tumpukan kertas yang ada di atas
pangkuanya sedikit berterbangan, namun dia segera meletakkan telapak tangan
kananya di atas lembaran-lembaran kertas yang masih putih itu dan sedikit
ternoda oleh butiran-butian pasir yang berwarna agak kecoklatan. Hari ini dia
enggan untuk cepat-cepat pulang ke rumah, telinganya tak mau lagi mendengarkan
nyanyian-nyanyian galak dari suara perempuan setengah baya yang seatap
denganya. Dia juga enggan untuk mendengarkan suara pecahan-pecahan piring atau
gelas yang bersumber dari dapur, atau melihat serpihan-serpihan kaca yang
berserakan dengan bebas di atas lantai dan mampu melukai telapak kaki siapa
saja yang menginjaknya tanpa alas ataupun beralas kaki. Dia menggerakkan
telapak kaki kananya dengan pelan, melihat dan menyentuh bekas lukanya sejenak,
lalu mengalihkan pandanganya ke arah ombak-ombak kecil yang berlomba-lomba lari
ketepian. Tiba-tiba ada sebuah tangan kekar yang menyodorkan selembar kertas
yang tak lagi bersih dari atas. Kepalanya terangkat sedikit, menatap laki-laki
yang berdiri di sampingnya.
“Terimalah....My chan!!!”
Gadis
yang di panggil My chan itu masih menatap ke arah laki-laki yang menyodorkan
selembar kertas ke arahnya, menatap sejenak selembar kertas yang ada di depan
matanya, lalu meraihnya dan melihat sebuah lukisan dari coretan-coretan pensil
yang menjadikanya sebuah lukisan indah. Seorang gadis berambut tak beraturan
sebahu dengan tumpukan lembaran-lembaran kertas yang ada di pangkuanya, juga
sebatang pena yang terselip di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah, juga
earphone yang menutupi kedua telinganya, terlihat jelas dengan sempurna
menghiasi lembaran kertas yang di pegangnya pemberian dari seorang laki-laki
tersebut. Ternyata lukisan itu adalah dirinya. Laki-laki itu telah melukis
dirinya. Dia mengalihkan pandanganya, tapi laki-laki itu sudah tak ada di
sampingnya lagi. Dan matanya menatap sosok yang sudah berjalan jauh. Wajahnya
tak nampak, namun punggungnya yang terlihat.
“Asakura
chan......!!!!!!”
Dia
berteriak sekeras mungkin dengan posisi duduk. Membuat langkahan kaki laki-laki
yang bernama Asakura itu terhenti dan menoleh ke belakang, juga tersenyum kecil
ke arahnya. “Arigato” hanya kata itu yang dia ucap dengan senyuman simpul.
Asakura hanya mengangguk pelan dan melangkahkan kakinya kembali meninggalkan
gadis itu.
***
“Kimmy..!!”
Kakinya
terhenti ketika seorang perempuan memanggilnya dengan suara di keraskan dengan
kasar. Gadis bernama lengkap Kimmy Choe itu menoleh dengan malas ke arah ibunya. “Ada
apa?”
“Sore
ini ayah dan ibu pergi ke rumah nenek di shibuya, mungkin akan pulang larut
malam. Sebelum kau tidur kunci semua pintu, dan tutup rapat-rapat jendela
rumah. Dan jangan keluar kemana-mana selama kita pergi. Mengerti kau? Ibu sudah
menyiapkan makan malammu di meja makan, kau bisa menghangatkanya kembali.”
“Iya
bu.” Hanya dua kata yang keluar dari bibir Kimmy, ketika ibunya sudah berlalu
dari hadapanya dan menuju ke kamar. Dia hanya menghembuskan nafas dengan pelan,
lalu beranjak dari ruang tamu dan masuk ke dalam kamar.
Kedua
matanya masih memandang ke arah lukisan pemberian asakura. Dia tersenyum
bahagia ketika membaca sebuah tulisan yang ada di bawah lukisan.
Sifat, tingkah laku, dan karakter My
chan yang unik membutku senang akan melihat My chan. Dan itu yang membuat diri
My chan menjadi spesial dalam hidupku. Senang berkenalan dan terlebih bertemu
denganmu My chan. (Asakura).
“Dan
kau adalah laki-laki pertama yang aku kagumi akan kepribadianmu. Aku harap kita
bisa saling bertemu dan bersama. Aku ingin kau menjadi yang terbaik dalam
hidupku Asakura.” Gumanya dalam hati, dan tersenyum kembali ketika melihat
lukisan Asakura.
***
Musim dingin sudah tiba tiga minggu yang lalu, Kimmy mengenakan
pakaian musim dingin pemberian Aiyuki Aikawa salah satu teman akrabnya
yang sekarang tinggal di yokohama. Dia melangkahkan kakinya dengan
pelan, berjalan melewati sebuah pohon dengan bunga-bunga yang bermekaran dan
sedikit tertutup oleh tumpukan salju, kakinya terhenti sejenak, berdiri dengan
tegap, menatap tajam ke arah pohon yang di penuhi sakura sebagai bunganya. Di
bawah pohon itu tak ada siapa-siapa yang sedang duduk, hanya ada
taburan-taburan bunga dengan mahkotanya yang berjatuhan di atas tanah yang
belum terkena salju.
“Asakura” Kimmy menggumankan pelan
nama Asakura. Tapi laki-laki itu tidak terlihat oleh matanya, bahkan sudah tak
nampak lagi duduk di bawah rindangnya pohon yang di penuhi bunga sakura. Kedua
kakinya kembali melangkah dengan pelan, berjalan menuju pohon itu dan duduk di
bawanya. Dia menyandarkan punggungnya pada batang pohon, mengangat kepalanya
dan menandarkanya pula. Kedua matanya terpejam sejenak, dan terbelalak dengan
tiba-tiba ketika dia merasakan sesuatu jatuh dari atas pohon ketika angin musim
dingin berhembus dengan sedikit kencang dan menyentuh wajahnya lembut lalu
jatuh di atas pangkuanya. Di raihnya sebuah gulungan kertas tersebut, lalu
menarik ujung pita yang mengikat kertas tersebut, dan mulai membuka.
Lagi-lagi sebuah lukisan dari
pensil, Kimmy tahu siapa yang melukis seorang gadis yang sedang bertopang dagu
di dekat jendela kamar yang terbuka lebar, yang ada di lembaran kertas itu. Itu
lukisan Asakura. Dan gadis yang di lukis itulah dirinya. Dia menatap keseluruh
sekelilingnya, berharap menemukan Asakura dan dapat melihatnya kembali. Namun
di sekelilingnya sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan melewati jalan
tersebut, dan itu bukan Asakura. Matanya menatap kembali pada lembaran kertas
tersebut, membuka lembaran berikutnya yang tidak ada lukisan namun ada sebuah
kata-kata yang mampu membuka hatinya dan menjatuhkan air matanya.
Aku
yakin bahwa hati yang telah kutinggalkan ini Masih tersimpan di tengah hutan
yang dalam Kelelahan, tanpa kekuatan untuk mencari Manusia pun tenggelam dalam
kegelapan abadi. Bila hal itu terlalu kecil, mampukah aku melihatnya sekarang?.
Selama hidup kita masih terus berjalan, Kita akan kehilangan lebih banyak lagi,
Terselubung dalam dusta dan kebohongan, Kitapun terdiam membeku tanpa mampu
berteriak. Hari-hari berjalan dan berubah sebagai semestinya, Tanpa kita sadari
betapa birunya langit itu, Mengatasi niat buruk itu, kita menghidupkan masakini
Dan jantung kita telah berkarat pun kembali berdetak. Bila kita menemukan irama
hidup ini, mampukah kita terbang sekali lagi?. Kita semua tinggal dalam
kehidupan ini, Berkelana hingga akhir dunia ini, Mempercayaimu dalam mencari
cahaya kebenaran, Memulai perjalananku dengan dirimu, kita tinggal dalam
kehidupan ini, Berkelana hingga akhir dunia ini, Menutup jalan untuk kembali,
Kita terus berjalan demi keabadian. kita terdiam membeku tanpa untuk berteriak,
terus berkelana demi keabadian.
Moshimo
negaigoto ga hitotsu kanau nara, Shiawase kure ta kimi ni mouichido ai tai.
(Asakura).
Lembaran-lembaran
kertas itu sedikit bergetar, seakan kedua telapak tanganya hampir lumpuh dan
tak kuat lagi membawa lembaran-lembaran kertas itu. Lagi-lagi Kimmy
menggumankan nama Asakura yang kesekian kalinya. Dengan tulisan-tulisan itu
apakah benar hal itu yang di alami Asakura? Apakah dia juga merasakan apa yang
di rasakannya saat ini? Tak dapat saling melihat dan bertemu seperti apa yang
di harapkanya setiap dalam do’anya. Tapi sekarang dia sudah tak terlihat lagi
oleh matanya. Dan mereka berdua berpisah. Lantas kemanakah dia pergi? Tanpa
memberi tahunya, dan hilang begitu saja sejak sebulan yang lalu.
***
Sudah hampir dua bulan ini Kimmy tak lagi melihat ataupun bertemu
dengan Asakura, bahkan dia juga tak dapat kabar tentangnya. Dan musim dinginpun
masih terus menjatuhkan butiran-butiran salju tanpa henti. Dia membuka jendela
kamar, mengeluarkan sebagaian tubuhnya dari kamar melalui jendela,
mendongkakkan kepala ke atas, membiarkan butiran-butiran salju menyentuh
wajahnya dengan lembut. Dia membuka mata dan menarik sebagaian tubuhnya ke
dalam, di tatapnya sebuah kalender kecil yang berdiri di atas lemari kayu, ada
angka yang di lingkari dengan coretan warna merah. Angka 24 jatuh pada bulan
agustus ini, seharusnya dia bahagia pada hari ini, hari bersejarah dalam hidupnya
yang datang setiap tahun, hari ini dia ber-ulang tahun. Dan tanpa Asakura dia
merayakan hari kebahagiaan itu.
Kimmy terduduk dengan lemas di dekat
jendela dan bertopang dagu, pandanganya lurus ke depan, menatap sakura yang
sudah tertutup oleh tumpukan salju. Salju masih berjatuhan walau hari masih
pagi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan berair. Kimmy menangis. Dalam
kehidupanya dia tak pernah menangisi seorang laki-laki. Apa lagi menangisi
seorang laki-laki bernama Asakura. Siapakah sebenarnya Asakura itu? Begitu
berartikah dia dalam kehidupan Kimmy? Padahal enam bulan yang lalu dia mengenal
sosok Asakura. Ketika mereka berdua sengaja di pertemukan oleh Tuhan di suatu
Festival Cosplay di Shibaura yang tak jauh dari Odaiba tempat
tinggal mereka berdua. Dia mengusap air mata dengan segera, dia beranjak dari
tempat duduk, meraih pakaian hangat dan shall lalu memakainya. Dengan cepat dia
keluar kamar tanpa menutup jendela dan pintu kamar. Dan ada sepasang mata laki-laki
yang sejak tadi mengawasinya ketika dia bertopang dagu di dekat jendela dan
keluar dari rumah.
Kakinya
berjalan dengan setengah berlari dan berhenti sejenak ketika dia sudah berdiri
tepat di ambang pintu gereja. Di tatapnya gereja yang sedikit ramai dengan
orang-orang yang bersembahyang, memanjatkan do’a kepada Tuhan. Kakinya
melangkah perlahan memasuki gereja dan berdiri di depan tepat di hadapan patung
emas Yesus dengan tubuh yang di salib, dan beberapa lilin kecil menyala di
bawah patung tersebut. Kimmy mengangkat kedua telapak tanganya dan mengatubkan
menjadi satu, kedua matanya mulai terpejam, bibir kecil tipis itu mulai
bergerak-gerak pelan, memanjatkan sebuah doa’a-do’a dengan penuh harap agar
sang Tuhan mengabulkan apa yang dia minta.
“Tuhan...aku
tahu kau maha tahu dan kau tahu apa yang ada dalam hatiku, di hari bahagiaku
ini aku ingin seseorang yang sangat berarti dalam kehidupanku ada di sampingku
untuk merayakan hari bahagiaku yang pertama kalinya. Aku ingin melihatnya
ketika aku sudah membuka mata dan keluar dari gereja. Bagiku kebahagiaan
hidupku ada dalam sosoknya. aku tahu Tuhan kalau kau tahu bahwa betapa aku
sangat mencintainya. Aku telah mencintai Asakura tanpa meminta ijin kepadanya
untuk mencintainya. Terimakasih Tuhan kau telah mendengarkan do’aku.”
Kimmy
menghentikan gerakan bibirnya, dia menyudahi do’anya dan membuka kedua mata
yang masih menatap patung yesus. Tubuhnya berbalik membelakangi patung yesus,
dan berjalan pelan menelusuri karpet merah yang tergelar di antara tatanan
kursi yang berbaris dengan rapi. Hatinya mulai sedikit gugup ketika dia sudah
berjalan mendekati pintu keluar gereja. Dia memejamkan mata sejenak dan masih
terus melangkah dengan pelan. Tiba-tiba dia merasakan menubruk seseorang, dengan
segera ia membuka mata, dan, mata itu....
“Asakura”
Kimmy menggumankan nama Asakura dengan pelan sehingga laki-laki yang di depanya
itu bisa mendengarkan.
“Kau
tidak apa-apa???” Ucapan laki-laki itu membuyarkan lamunan Kimmy. Dia
menggelengkan kepalanya dan berkata sedikit gugup. “Aku tidak apa-apa” di
tatapnya wajah laki-laki itu yang ternyata bukanlah Asakura. Tapi mata itu
seperti milik Asakura. Dengan segera dia menepis perasaan aneh itu.
“Kimmy,
kau Kimmy bukan???”
Kimmy
sedikit terheran dan kaget ketika laki-laki yang di tubruknya itu menyebut
namanya, dia mengamati wajah laki-laki yang masih ada di depanya, namun dia tak
dapat mengenali walaupun dia mengenali mata laki-laki tersebut.
“Kau
siapa? Apa aku pernah mengenalmu sebelumnya?” tanya Kimmy dengan perasaan heran
bercampur aneh yang mengelabui hatinya.
Laki-laki
itu tersenyum kecil, namun senyumanya mempunyai banyak arti. “Aku Kaze, masih
ingatkah kau?” Tanya laki-laki yang bernama Kaze tersebut dengan harap agar Kimmy
masih mengingat tentang dirinya.
“Kaze?
Bukankah kau..kau kakak Asakura??” tebak Kimmy dengan antusias. Kaze hanya
mengangguk dengan pelan dan tersenyum simpul. Mereka berdua berlalu dan
berjalan beriringan menuju taman samping gereja.
Mungkin aku telah melakukan
kesalahan terbesar dalam hidupku karena harus menjatuhkan air mata seorang
gadis sepertimu. Kepergianku tanpa kabar dan tanpa memberi tahumu bukanlah aku
marah ataupun ingin berpisah agar kau tak dapat melihat dan bertemu denganku
lagi. Melainkan aku memenuhi panggilan orang tuaku yang di Tokyo beserta kakak
laki-lakiku.
Aku tahu kau dan Kaze sudah saling
mengenal sejak kalian masih kecil, dan ketika kau menginjak SMP dan Kaze duduk
di bangku SMA, Kaze banyak cerita tentangmu, dan aku tahu dari gaya bicaranya
tentang kamu dengan senyuman bahagia, aku dapat menyimpulkan sendiri bahwa Kaze
mencintaimu. Dan ternyata dugaanku sangat benar, ketika aku memasuki kamar
Kaze, di situ banyak sekali foto-fotomu dengan semua kegiatan yang kau lakukan.
Dan pertama kali kita bertemu di suatu
festival, aku begitu senang melihatmu. Dalam hatiku, Kaze sangat beruntung
mencintai perempuan sepertimu. Dan semoga kau sudah membaca surat yang aku
gulung dan aku selipkan di sela-sela dedaunan dan dahan sebuah pohon yang
selalu aku tempati.
Aku pergi ke tokyo ketika aku
mendapatkan kabar bahwa Kaze mengalami kecelakaan mobil, karena pecahan kaca
mobilnya mengenai kedua matanya sehingga menyebabkan dia buta, dan saat itulah
aku berfikir, apabila Kaze buta apakah dia bisa melihat wajah gadis yang dia
cintai selama bertahun-tahun? Dan saat itu pula penyakit mematikan yang mengindap
dalam tubuhku bertahun-tahun lamanya ketika aku masih berumur empat tahun
kambuh kembali. Kata dokter penyakitku memang langkah, dan masih belum ada obat
penyembuhnya, dan aku teraphy setiap minggu sebagai pencegahan kambuhnya
penyakit tersebut. Saat aku bertemu denganmu, dan mengenalmu lebih dekat,
bagiku teraphy tak ada gunanya apabila aku harus jauh darimu dan tak dapat
melihatmu karena teraphy memakan banyak waktu dan aku harus pergi ke tokyo
setiap minggu. Dan kaulah obat dari penyakitku. Dan itu memang benar, setelah
Tuhan mempertemukan kita berdua, aku tak pernah pergi ke tokyo untuk teraphy.
Dan orang tuaku yakin bahwa penyakitku sudah hilang, dan dokterpun mengvonis
aku sembuh total. Senyum bahagiaku tak pernah hilang ketika aku mendengar kabar
itu, dan terlebih ketika melihat dan bertemu denganmu. Tapi setelah aku pergi
ke tokyo dan meninggalkanmu, tiba-tiba penyakit itu kembali, bahkan lebih ganas
dari sebelumnya. Dan saat itu dokter mengvonis bahwa hidupku tidak lama lagi.
Aku tak bisa berkata apa-apa saat mendengar perbincangan dokter dengan kedua
orang tuaku. Ketika aku merasa waktunya Tuhan memanggilku, aku ingin agar kedua
mataku di donorkan kepada Kaze. Dan maafkan aku kalau aku tak pernah cerita
tentang penyakitku padamu, karena aku tak mau kau menjatuhkan air mata untuk
orang yang kau sayangi, dan aku juga tak mau melihat orang yang aku sayangi
bersedih.
Mungkin laki-laki yang ada di
hadapanmu sekarang memang bukanlah aku, tapi ketika kau menatap kedua matanya,
di saat itulah aku melihatmu dan kau melihatku. Dan kita tidak bisa bertemu
lagi, akan tetapi kita bisa saling melihat. Tataplah mataku dengan perasaan,
karena aku juga mencintaimu My Chan.
Omoide mo himitsu mo kokoro ni
shimau yo, Itsu no hi ni ka kimi to mata meguri ai tai, Moshimo negaigoto ga
hitotsu kanau nara, Shiawase kure ta kimi ni mouichido ai tai. (Asakura)
Sedikit
demi sedikit kertas itu basah oleh jatuhan air mata Kimmy setelah dia membaca
surat dari Asakura yang di titipkan pada Kaze untuknya. Kepalanya masih
tertunduk menatap tulisan tangan Asakura dan lukisan seorang gadis mengenakan
earphone, dengan lembara-lembaran kertas, juga sebatang pena. Kedua mata gadis
itu terlihat sayu bahkan ada setitik air mata yang membasahi pipinya, walaupun
bibir kecil itu tersenyum.
“Apakah
Asakura sudah benar-benar meninggalkan aku, Kaze?”
Kaze diam
sejenak sebelum menjawab pertanyaan Kimmy, “iya” ucapnya pelan dengan anggukan
kepalanya. “Dia sudah meninggal karena penyakitnya kambuh kembali dan semakin
parah menyerang kesehatan tubuhnya. Ketika kau membaca surat dari Asakura
mungkin kau sudah mengetahui semuanya, dan apa telah terjadi.”
“Dimana Asakura dimakamkan?”
“Di tempat tinggal bebuyut kami, di Osaka.”
“Kenapa tidak di makamkan saja di
Odaiba?”
“Tidak, karena seluruh keluarga
Akashi berasal dari Osaka.”
Kimmy hanya
diam mendengar jawaban-jawaban Kaze, apakah dia harus pergi ke osaka untuk melihat
tempat terakhir Asakura? “Besok, bisakah kau mengantarkanku ke osaka?”
Tanpa banyak fikir, Kaze segera
menganggukkan kepalanya dan bersedia.”Akan ku antarkan besok pagi.”
***
Mobil sport biru itu berhenti di depan pintu masuk pemakaman. Kaze
dan Kimmy segera keluar dari mobil dan berjalan menulusuri pemakaman-pemakan
yang tersusun rapi bak taman bunga itu, keempat kaki itu berheti di sebuah
pemakan keluarga yang ada di atas bukit. Kimmy menatap sebuah pemakaman yang
masih basah, dan masih hijau pula rumput-rumput hias yang mengelilingi pusara
itu, sebingkai figura kecil dengan foto Asakura di dalamnya juga masih ada di
atas pusara, dekat batu nisan yang berbentuk salib. Pada salib itu terukir
dengan tulisan indah nama Asakura Akashi beserta tanggal lahir juga tanggal
kematian. Tiba-tiba beberapa bunga sakura berjatuhan dari pohonya dan mendarat
di atas pusara. Kimmy mengangkat kepalanya ke atas, pohon sakura itu terlihat
tua, namun daha-dahan, dan daun-daun, juga bunga-bunganya menaungi lebih dari
sepuluh makam yang ada di bawahnya.
Salju mulai berjatuhan dengan
perlahan, angin musim dingin berhembus dengan pelan. Salju berjatuhan semakin
lebat, dan angin berhembusan dengan sedikit kencang, sehingga banyak
bunga-bunga yang berjatuhan dari pohon. Sepertinya badai salju akan datang.
Kaze segera mengajak Kimmy pulang ke odaiba malam ini juga.
***
Kimmy duduk di dekat jendela yang terbuka lebar, menatap langit
gulita tanpa bulan ataupun bintang. Salju masih berjatuhan dengan perlahan
angin musim dingin juga berhembus dengan pelan, namun begitu menusuk tulang
dinginya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sebelas menit, malam sudah
hampir larut, tapi Kimmy belum juga merebahkan tubuhnya dan memejamkan kedua
matanya dengan nyenyak. Dia tersenyum menatap lukisan-lukisan Asakura yang
tertempel di dinding kamarnya, seakan dia melihat Asakura berdiri di depanya.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan butiran-butiran air mata itu berjatuhan
dengan sendirinya. Dia tak tahu apa yang akan di lakukanya hari esok tanpa
Asakura, kali ini dia benar-benar merasakan apa itu cinta. Yah...Asakura adalah
laki-laki pertama yang di cintainya walaupun dia bukan pacar pertamanya. Dan tanpa
ia sadari sepasang mata terus mengawasinya sejak dari tadi sepulang dari osaka.
Dia
menundukkan kepalanya, dan membenamkan kepalanya di sela-sela lengan tanganya
yang saling bertumpukan di ambang jendela yang masih terbuka. Tiba-tiba dia
merasakan sebuah tangan yang membelai pelan helaian rambutnya yang berantakan
karena hembusan angin dari luar sana. Kepalanya terangkat pelan dan menatap
sebuah saputangan yang di sodorkan ke arahnya. Di tatapnya sosok laki-laki yang
sudah berdiri di hadapanya dengan saputangan di tangan kanan. Kaze mulai
menyeka pelan air mata yang masih belum mengering itu. Kimmy menatap wajah
Kaze, lalu menatap ke arah kedua matanya. Mata itu...dia seakan melihat sosok
Asakura ketika dia menatap mata itu. Dia tersenyum kecil namun mempunyai arti
kebahagiaan ketika dia menatap sepasang mata itu dan dia berguman dalam hatinya
“Aishiteru Asakura chan”. Dan berharap agar di hari esok dan hari-hari
selanjutnya dia melakukan sesuatu yang akan di lakukanya dengan kehidupan baru,
kehidupan yang membuatnya sendiri lagi, dan kehidupan tanpa adanya Asakura.