PENANTIAN
DUA HELLENA
Oleh:
Faizah Angela
“Suaminya hilang
entah kemana, tak ada kabar tentang dia masih hidup atau sudah mati. Tapi
orang-orang yang berangkat berdagang denganya mengabarkan kalau suaminya hilang
dan mati di Afghanistan karena badai yang menghantam ketika dia
perjalanan menuju Pakistan. Dan segerombolan pedagang itupun kembali ke
kota asalnya di Kamanj yang terletak tak jauh dari sungai Hariroud.
Andai senja tak pernah
ada. Dia tak akan berdiri dengan setia di tepian sungai seorang diri. Kasih
sayang yang begitu besar, kesetiaan yang tulus, serta cinta suci yang membuat
dirinya harus melakukan penantian bertahun-tahun yang memakan usia. Angin dari
gurun Naomid berhembusan dengan sedikit kasar, membuat selendang merah
yang menutupi sebagaian kepalanya terjatuh di atas pundak, memperlihatkan helaian-helaian rambut hitam kecoklatan panjang yang terurai dengan indah. Tatapan
mata tajamnya ke arah tengah sungai terlihat sayu namun sedikit berbinar.
Di tengah sungai yang
tak menampakkan sebrang, matahari menghilangkan separuh bundarannya, menjadikan
sore dengan senja yang dihiasi mega merah yang indah. Kedua telapak tangannya
terkatup rapat, dan diletakkan di depan dada. Matanya mulai terpejam. Bibir
tipisnya yang kecil sedikit bergetar mengucapkan sesuatu yang tak bisa didengar
ataupun di pahami. Hanya Tuhan yang tahu apa yang diucapkan oleh kata hatinya.
Dia menghembuskan nafas sedikit besar, matanya menatap ke seluruh penjuru
sungai yang sudah sepi sejak tadi. Kedua kaki jenjangnya mulai melangkah dengan
pelan dan sedikit lunglai, ketika mega merah sudah pudar, dan senja tak nampak.
Bayangan yang melangkah begitu cepat
sehingga tak mampu dikejar oleh siapapun orang yang berjalan di belakangnya.
Dan dia sudah tak terlihat lagi di pinggiran sungai, lalu pulang dengan membawa
penantian yang tak berujung dengan pertemuan.
“ Darimana saja kau
Hellena??” tanya laki-laki yang duduk di kursi kayu tak jauh dari pintu dimana
Hellena berdiri saat ini.
“Aku
dari sungai” jawabnya pelan dengan nada lembut.
“Harus
sampai kapan kau menunggu suamimu di Hariroud? Dia tak akan pernah kembali
lagi. Dia sudah meninggal Hellena.” Jelas laki-laki itu dengan suara tegas,
agar perkataan yang dia ucapkan dapat merubah pikiran Hellena yang setiap senja
hari dia pergi ke sungai menunggu kepulangan suaminya bertahun-tahun.
Dia berjalan pelan ke
arah jendela yang masih terbuka dan duduk di kursi yang dekat tubuhnya. Dia
menatap kakak laki-laki yang duduk tak jauh darinya. “Tidak Vassili, perkataan
orang-orang tentang kematian suamiku belum tentu benar. Dia hanya hilang, dan
suatu saat nanti pasti akan pulang. Kembali padaku dan putriku Hellena.”
“Tapi
sudah lebih dari sepuluh tahun suamimu tak ada kabar. Dia pasti mati terkena
badai di Afghanistan ketika perjalanan ke Pakistan. Percayalah padaku Hellena,
jangan kau nantikan lagi kedatanganya. Dia tak akan pernah kembali. Percayalah
padaku.”
Hellena hanya diam memalingkan pandanganya dari Vassili, dan
beralih ke arah luar jendela menatap awan yang mulai gulita. Dia beranjak dari
duduknya meninggalkan Vassili sendiri tanpa satu kata yang keluar dari
mulutnya.
***
“Ibu
dari sungai?” tanya perempuan kecil yang duduk di atas tempat tidur. Hellena
hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara, dan duduk di dekat putrinya.
Di tatapnya Hellena kecil yang ada di depan matanya saat ini. Ternyata
kecantikanya diwariskan kepada putrinya. Hanya lebih cantik dia dibandingkan
dengan Hellena kecil. Bentuk wajahnya yang agak lonjong, kedua matanya yang
indah berwarna sedikit kebiruan dan tajam namun sayu, hidung yang mungil dan
sangat mancung, bibir agak kecil dan tipis, rambut berwana hitam sedikit kecoklatan dan terurai
panjang dengan indah, kulit putih tak pucat dan indah, kesempurnaan tubuh dan
wajahnya begitu memikat dan mempesona bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh
sangat sempurna kecantikan perempuan yang terlahir dalam lingkungan keluarga Parvella
dari kaum Zavier. Sudah turun temurun bagi perempuan-perempuan yang
terlahir dari kaum Zavier mempunyai paras yang elok nan jelita, terlebih dari
lingkungan Parvella, kecantikanya tak ada yang menandingi di antara kaum-kaum
yang ada di Afghanistan.
“Kau
begitu cantik nak, tak ada sedikit celah di balik kecantikanmu.” Ucapnya pelan
kepada Hellena kecil yang menatapnya dengan sayu.
“Ibu
juga cantik, tapi kenapa ayah pergi meninggalkan ibu dan aku? Apa ada perempuan
yang kecantikanya melebihi kecantikan keluarga kita bu?” tanya Hellena kecil
dengan polos.
“Tidak nak... Ayahmu
meninggalkan kita bukan karena ada perempuan yang kecantikannya melebihi ibu,
melainkan hilang karena badai. Dan ibupun tak tahu dimana ayahmu sekarang. Tapi
ibu selalu menunggu kedatangannya.”
“Apa
ayah akan kembali pada kita bu?”
Hellena mengangguk, “Iya nak, ayahmu
akan kembali entah kapan. Suatu saat nanti kalau ibu pergi meninggalkanmu dan
ayahmu belum kembali juga. Hanya satu pesan ibu untukkmu.”
“Apa
itu bu?”
“
Tunggulah kedatangan ayahmu di dekat jendela setiap senja, dan jangan beranjak
dari tempat dudukmu sebelum mega merah hilang dan hari mulai gulita. Kau
mengerti nak?”
“Mengerti bu!” Hellena
kecil mengangguk pelan.
***
Angin
berhembus sejuk namun mampu mematikan di setiap hembusannya. Dan itu ternyata
benar, Hellena kecil menangis dengan histeris di pelukan ibunya yang terbujur
kaku dan tak bernyawa lagi. Vassili yang melihatnya hanya diam menenangkan
Hellena. Jasad bertubuh indah itu akan di makamkan pagi ini, di sebuah
pemakaman kaum Zavier yang ada di Alandar,
gundukan tanah liat yang masih memerah segar itu tercium bau harum bak Bughur,
Hellena kecil masih duduk didekat pemakaman ibunya dengan mengenakan selendang
merah yang selalu dipakai ibunya. Selendang merah itu mungkin hanya terlihat
sebagai sekedar kain yang menjadi selendang dan tak bermakna, namun bagi
Hellena kecil dan ibunya selendang itu adalah selendang wasiat dari keluarga
Parvella. Dan Hellena kecil yang masih berumur sepuluh tahun itu menjadi
pewaris selendang merah berwasiat itu.
Sepuluh
tahun silam Akbar Ali meninggalkan istrinya Hellena, dan ketika berumur sepuluh
tahun juga Hellena kecil kehilangan ibunya. Dan sepuluh tahun yang akan datang
akankah penantian Hellena kedua masih terus berlanjut...???”
***
Laki-laki
tua itu menghentikan ceritanya, mengambil nafas perlahan, dan menatap ke arah
dalam rumah dengan pintu dan jendela terbuka lebar. Laki-laki muda yang masih
terlihat berumur dua puluh lima tahun itu mengikuti arah pandangan laki-laki
tua yang duduk di depannya. Di dalam rumah dekat jendela yang terbuka, seorang
gadis berparas cantik, elok, nan jelita duduk di atas kursi kayu dengan
mengenakan selendang merah yang menutupi sebagaian kepalanya sehingga sedikit
rambutnya yang terlihat. Ketika melihatnya laki-laki muda bernama Hamid Syah
itu mampu menebak siapa gerangan. Yang tak lain lagi dia adalah Hellena kecil
yang sudah beranjak dewasa.
“Sudah adzan maghrib,
ayo kita masuk ke dalam rumah dan sholat berjama’ah.” Ajak laki-laki tua itu,
dia berdiri dengan sedikit membungkuk dengan tongkat di tangan kanannya yang
menopang tubuh tuanya yang mulai sedikit rapuh. Hamid beranjak dari duduknya
dan mengikuti langkah Vassili dari belakang.
“Assalam Sayyidah Hellena.” Hamid mengatupkan kedua telapak tanganya dan memberi
salam hormat kepada Hellena, ketika dia memasuki rumah dan melewati Hellena
yang masih duduk di dekat jendela yang terbuka.
“ ‘Alaikassalam” hanya
ucapan salam singkat yang terlontar dari bibirnya tanpa menoleh ke asal suara
yang memberinya salam tadi.
“Tutup jendelanya,
cuaca malam ini terlihat sedikit buruk, angin dari gurun Naomid berhembus
dengan sedikit kencang menuju pemukiman penduduk.” Ucap Vassili lalu dia
berlalu dari hadapan Hellena, dan hamid masih mengikutinya dari belakang.
***
Sudah
tiga bulan ini Hamid tak mengujungi kota Kamanj untuk menemui laki-laki tua
bernama Vassili untuk menceritakan kisah Hellena yang cukup menarik baginya,
yah... Ternyata Hamid adalah seorang mahasiswa jurusan jurnalistik di salah
satu Universitas Turkmenistan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia
akan pergi ke Kamanj minggu ini menemui
Vassili dan mengucapkan banyak terimakasih karena dia sudah mendapatkan nilai
yang sangat memuaskan dengan kisah Hellena untuk dijadikan bahan tulisannya di
ujian akhir. Bukan hanya Vassili saja yang akan dia temui, tapi dia juga
menemui Hellena untuk melihat dan melukis kecantikannya yang luar biasa dengan
sya’ir yang indah di setiap kalimatnya.
Senja kali ini Hamid
sudah ada di Kamanj, dia duduk di ruang tamu tepat di depan Vassili, ada
sedikit keganjalan di benak Hamid ketika dia tak melihat Hellena dengan
selendang merahnya duduk di atas kursi kayu dekat jendela yang terbuka lebar.
Dan Vassili mampu membaca pikiran Hamid.
“Kau mencari Hellena
anak muda?”
Pertanyyan Vassili membuat Hamid sedikit
terperanjat, dan dia dengan cepat berpaling dan menatap vassili. “Iya paman,
dimana dia?”
“Dia
meninggal empat puluh tiga hari yang lalu.”
Hamid terbelalak kaget, menatap Vassili dan
tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Mungkin
kau tidak percaya, tapi memang itulah yang terjadi. Aku hanya memberi tahumu
dengan jujur dan apa adanya. Dia dimakamkan dialandar dimana tempat tidur
terakhir Hellena.”
Hamid hanya memejamkan
kedua matanya sejenak, ada sedikit rasa sakit di hatinya ketika dia mendengar
kabar tentang kematian Hellena dari Vassili. Setitik butiran bagai embun yang
terjatuh dari pelupuk matanya. Hamid menangis, kenapa bisa begitu? Bukankah dia
baru mengenal sosok Hellena tiga bulan yang lalu??. Tapi entahlah apa maksud
dari semua itu. Hanya angin berhembus dengan pelan yang memahami tentang
hatinya.
***
Hamid terduduk dengan
lunglai di tengah-tengah dua pemakaman yang bertuliskan Hellena di batu nisan.
Di tangan kanannya tergenggam sebuah selendang merah bersulamkan emas bak sari
sutra India. Sedangkan di tangan kirinya terselip secarik kertas dengan tulisan
dari tinta merah. Hamid menutupi kedua batu nisan itu dengan selendang merah
yang akan diberikanya kepada Hellena senja ini, dia juga membuka lipatan kertas
itu dan menaruhnya di tengah-tengah pemakaman dengan segumpal tanah merah yang
menindih kertas itu. Tak ada yang tahu apa isi dari tulisan tersebut, yang tahu
hanya Hamid dan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar