Senin, 06 Januari 2014

PENANTIAN DUA HELLENA
Oleh: Faizah Angela

Suaminya hilang entah kemana, tak ada kabar tentang dia masih hidup atau sudah mati. Tapi orang-orang yang berangkat berdagang denganya mengabarkan kalau suaminya hilang dan mati di Afghanistan karena badai yang menghantam ketika dia perjalanan menuju Pakistan. Dan segerombolan pedagang itupun kembali ke kota asalnya di Kamanj yang terletak tak jauh dari sungai Hariroud.
Andai senja tak pernah ada. Dia tak akan berdiri dengan setia di tepian sungai seorang diri. Kasih sayang yang begitu besar, kesetiaan yang tulus, serta cinta suci yang membuat dirinya harus melakukan penantian bertahun-tahun yang memakan usia. Angin dari gurun Naomid berhembusan dengan sedikit kasar, membuat selendang merah yang menutupi sebagaian kepalanya terjatuh di atas pundak, memperlihatkan  helaian-helaian rambut hitam kecoklatan  panjang yang terurai dengan indah. Tatapan mata tajamnya ke arah tengah sungai terlihat sayu namun sedikit berbinar.
Di tengah sungai yang tak menampakkan sebrang, matahari menghilangkan separuh bundarannya, menjadikan sore dengan senja yang dihiasi mega merah yang indah. Kedua telapak tangannya terkatup rapat, dan diletakkan di depan dada. Matanya mulai terpejam. Bibir tipisnya yang kecil sedikit bergetar mengucapkan sesuatu yang tak bisa didengar ataupun di pahami. Hanya Tuhan yang tahu apa yang diucapkan oleh kata hatinya. Dia menghembuskan nafas sedikit besar, matanya menatap ke seluruh penjuru sungai yang sudah sepi sejak tadi. Kedua kaki jenjangnya mulai melangkah dengan pelan dan sedikit lunglai, ketika mega merah sudah pudar, dan senja tak nampak. Bayangan  yang melangkah begitu cepat sehingga tak mampu dikejar oleh siapapun orang yang berjalan di belakangnya. Dan dia sudah tak terlihat lagi di pinggiran sungai, lalu pulang dengan membawa penantian yang tak berujung dengan pertemuan.
“ Darimana saja kau Hellena??” tanya laki-laki yang duduk di kursi kayu tak jauh dari pintu dimana Hellena berdiri saat ini.
            “Aku dari sungai” jawabnya pelan dengan nada lembut.
            “Harus sampai kapan kau menunggu suamimu di Hariroud? Dia tak akan pernah kembali lagi. Dia sudah meninggal Hellena.” Jelas laki-laki itu dengan suara tegas, agar perkataan yang dia ucapkan dapat merubah pikiran Hellena yang setiap senja hari dia pergi ke sungai menunggu kepulangan suaminya bertahun-tahun.
Dia berjalan pelan ke arah jendela yang masih terbuka dan duduk di kursi yang dekat tubuhnya. Dia menatap kakak laki-laki yang duduk tak jauh darinya. “Tidak Vassili, perkataan orang-orang tentang kematian suamiku belum tentu benar. Dia hanya hilang, dan suatu saat nanti pasti akan pulang. Kembali padaku dan putriku Hellena.”
            “Tapi sudah lebih dari sepuluh tahun suamimu tak ada kabar. Dia pasti mati terkena badai di Afghanistan ketika perjalanan ke Pakistan. Percayalah padaku Hellena, jangan kau nantikan lagi kedatanganya. Dia tak akan pernah kembali. Percayalah padaku.”
Hellena hanya diam  memalingkan pandanganya dari Vassili, dan beralih ke arah luar jendela menatap awan yang mulai gulita. Dia beranjak dari duduknya meninggalkan Vassili sendiri tanpa satu kata yang keluar dari mulutnya.
***
            “Ibu dari sungai?” tanya perempuan kecil yang duduk di atas tempat tidur. Hellena hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara, dan duduk di dekat putrinya. Di tatapnya Hellena kecil yang ada di depan matanya saat ini. Ternyata kecantikanya diwariskan kepada putrinya. Hanya lebih cantik dia dibandingkan dengan Hellena kecil. Bentuk wajahnya yang agak lonjong, kedua matanya yang indah berwarna sedikit kebiruan dan tajam namun sayu, hidung yang mungil dan sangat mancung, bibir agak kecil dan tipis, rambut  berwana hitam sedikit kecoklatan dan terurai panjang dengan indah, kulit putih tak pucat dan indah, kesempurnaan tubuh dan wajahnya begitu memikat dan mempesona bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh sangat sempurna kecantikan perempuan yang terlahir dalam lingkungan keluarga Parvella dari kaum Zavier. Sudah turun temurun bagi perempuan-perempuan yang terlahir dari kaum Zavier mempunyai paras yang elok nan jelita, terlebih dari lingkungan Parvella, kecantikanya tak ada yang menandingi di antara kaum-kaum yang ada di Afghanistan.
            “Kau begitu cantik nak, tak ada sedikit celah di balik kecantikanmu.” Ucapnya pelan kepada Hellena kecil yang menatapnya dengan sayu.
            “Ibu juga cantik, tapi kenapa ayah pergi meninggalkan ibu dan aku? Apa ada perempuan yang kecantikanya melebihi kecantikan keluarga kita bu?” tanya Hellena kecil dengan polos.
“Tidak nak... Ayahmu meninggalkan kita bukan karena ada perempuan yang kecantikannya melebihi ibu, melainkan hilang karena badai. Dan ibupun tak tahu dimana ayahmu sekarang. Tapi ibu selalu menunggu kedatangannya.”
            “Apa ayah akan kembali pada kita bu?”
Hellena mengangguk, “Iya nak, ayahmu akan kembali entah kapan. Suatu saat nanti kalau ibu pergi meninggalkanmu dan ayahmu belum kembali juga. Hanya satu pesan ibu untukkmu.”
            “Apa itu bu?”
            “ Tunggulah kedatangan ayahmu di dekat jendela setiap senja, dan jangan beranjak dari tempat dudukmu sebelum mega merah hilang dan hari mulai gulita. Kau mengerti nak?”
“Mengerti bu!” Hellena kecil mengangguk pelan.
***
            Angin berhembus sejuk namun mampu mematikan di setiap hembusannya. Dan itu ternyata benar, Hellena kecil menangis dengan histeris di pelukan ibunya yang terbujur kaku dan tak bernyawa lagi. Vassili yang melihatnya hanya diam menenangkan Hellena. Jasad bertubuh indah itu akan di makamkan pagi ini, di sebuah pemakaman kaum Zavier yang ada di Alandar, gundukan tanah liat yang masih memerah segar itu tercium bau harum bak Bughur, Hellena kecil masih duduk didekat pemakaman ibunya dengan mengenakan selendang merah yang selalu dipakai ibunya. Selendang merah itu mungkin hanya terlihat sebagai sekedar kain yang menjadi selendang dan tak bermakna, namun bagi Hellena kecil dan ibunya selendang itu adalah selendang wasiat dari keluarga Parvella. Dan Hellena kecil yang masih berumur sepuluh tahun itu menjadi pewaris selendang merah berwasiat itu.
            Sepuluh tahun silam Akbar Ali meninggalkan istrinya Hellena, dan ketika berumur sepuluh tahun juga Hellena kecil kehilangan ibunya. Dan sepuluh tahun yang akan datang akankah penantian Hellena kedua masih terus berlanjut...???”
***
Laki-laki tua itu menghentikan ceritanya, mengambil nafas perlahan, dan menatap ke arah dalam rumah dengan pintu dan jendela terbuka lebar. Laki-laki muda yang masih terlihat berumur dua puluh lima tahun itu mengikuti arah pandangan laki-laki tua yang duduk di depannya. Di dalam rumah dekat jendela yang terbuka, seorang gadis berparas cantik, elok, nan jelita duduk di atas kursi kayu dengan mengenakan selendang merah yang menutupi sebagaian kepalanya sehingga sedikit rambutnya yang terlihat. Ketika melihatnya laki-laki muda bernama Hamid Syah itu mampu menebak siapa gerangan. Yang tak lain lagi dia adalah Hellena kecil yang sudah beranjak dewasa.
“Sudah adzan maghrib, ayo kita masuk ke dalam rumah dan sholat berjama’ah.” Ajak laki-laki tua itu, dia berdiri dengan sedikit membungkuk dengan tongkat di tangan kanannya yang menopang tubuh tuanya yang mulai sedikit rapuh. Hamid beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah Vassili dari belakang.
“Assalam Sayyidah Hellena.” Hamid mengatupkan kedua telapak tanganya dan memberi salam hormat kepada Hellena, ketika dia memasuki rumah dan melewati Hellena yang masih duduk di dekat jendela yang terbuka.
“ ‘Alaikassalam” hanya ucapan salam singkat yang terlontar dari bibirnya tanpa menoleh ke asal suara yang memberinya salam tadi.
“Tutup jendelanya, cuaca malam ini terlihat sedikit buruk, angin dari gurun Naomid berhembus dengan sedikit kencang menuju pemukiman penduduk.” Ucap Vassili lalu dia berlalu dari hadapan Hellena, dan hamid masih mengikutinya dari belakang.
***
Sudah tiga bulan ini Hamid tak mengujungi kota Kamanj untuk menemui laki-laki tua bernama Vassili untuk menceritakan kisah Hellena yang cukup menarik baginya, yah... Ternyata Hamid adalah seorang mahasiswa jurusan jurnalistik di salah satu Universitas Turkmenistan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia akan pergi ke Kamanj minggu ini  menemui Vassili dan mengucapkan banyak terimakasih karena dia sudah mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dengan kisah Hellena untuk dijadikan bahan tulisannya di ujian akhir. Bukan hanya Vassili saja yang akan dia temui, tapi dia juga menemui Hellena untuk melihat dan melukis kecantikannya yang luar biasa dengan sya’ir yang indah di setiap kalimatnya.
Senja kali ini Hamid sudah ada di Kamanj, dia duduk di ruang tamu tepat di depan Vassili, ada sedikit keganjalan di benak Hamid ketika dia tak melihat Hellena dengan selendang merahnya duduk di atas kursi kayu dekat jendela yang terbuka lebar. Dan Vassili mampu membaca pikiran Hamid.
“Kau mencari Hellena anak muda?”
Pertanyyan Vassili membuat Hamid sedikit terperanjat, dan dia dengan cepat berpaling dan menatap vassili. “Iya paman, dimana dia?”
            “Dia meninggal empat puluh tiga hari yang lalu.”
Hamid terbelalak kaget, menatap Vassili dan tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
            “Mungkin kau tidak percaya, tapi memang itulah yang terjadi. Aku hanya memberi tahumu dengan jujur dan apa adanya. Dia dimakamkan dialandar dimana tempat tidur terakhir Hellena.”
Hamid hanya memejamkan kedua matanya sejenak, ada sedikit rasa sakit di hatinya ketika dia mendengar kabar tentang kematian Hellena dari Vassili. Setitik butiran bagai embun yang terjatuh dari pelupuk matanya. Hamid menangis, kenapa bisa begitu? Bukankah dia baru mengenal sosok Hellena tiga bulan yang lalu??. Tapi entahlah apa maksud dari semua itu. Hanya angin berhembus dengan pelan yang memahami tentang hatinya.
***

Hamid terduduk dengan lunglai di tengah-tengah dua pemakaman yang bertuliskan Hellena di batu nisan. Di tangan kanannya tergenggam sebuah selendang merah bersulamkan emas bak sari sutra India. Sedangkan di tangan kirinya terselip secarik kertas dengan tulisan dari tinta merah. Hamid menutupi kedua batu nisan itu dengan selendang merah yang akan diberikanya kepada Hellena senja ini, dia juga membuka lipatan kertas itu dan menaruhnya di tengah-tengah pemakaman dengan segumpal tanah merah yang menindih kertas itu. Tak ada yang tahu apa isi dari tulisan tersebut, yang tahu hanya Hamid dan Tuhannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar